PEMBAHASAN
A.
Biografi
Erik Erikson
Erik Erikson dilahirkan di Jerman tanggal 15 juni
1902. Sangat sedikit yang bisa diketahui tentang asal usulnya. Ayah kandungnya
adalah seorang laki-laki berkebangsaan Denmark yang tidak dikenal namanya dan
tidak mau mengakui Erik sebagai anaknya sewaktu masih dalam kandungan dan
langsung meninggalkan ibunya. Ibunya, Karla Abrahamsen, adalah wanita Yahudi
yang membesarkannya sampai usia tiga tahun. Dia kemudian menikah dengan Dr.
Theodore Homberger. Mereka kemudian pindah ke karlsruhe di Jerman selatan.
Setelah lulus sekolah menengah, Erik
memutuskan untuk menjadi seniman. Karena tidak mengambil kuliah seni dia
memilih keliling eropa mengunjungi berbagai museum dan hidup seperti
gelandangan. Dia menjalani hidup secara bebas tanpa beban.
Di usia yang ke 25, temannya Peter
Blos seorang seniman yang kemudian menjadi psikoanalisis menyarankannya agar
mendaftar jadi guru disekolah percobaan untuk anak-anak Amerika yang dikelola
oleh Dorothy Burlingham, seorang teman Anna Freud. Di samping mengajar seni,
dia juga mendapat sertifikat dari montessori Education dan Vienna Psyhoanalytic
society. Bisa dikatakan, dia menjadi seorang psikoanalisis karena Anna Freud.
Reputasi Erikson hampir seluruhnya
berasal dari uraiannta tentang perkembangan psikososial sepanjang masa
kehidupan, dari masa bayi sampai masa tua, terutama konsep-konsepnya tentang
identitas dan krisis identitas. Pada umumnya para psikologi lebih menyukai
tahap Eikson daripada tahap psikoseksual Freud. Mereka berpendapat bahwa
Erikson telah memberikan sumbangan untuk perkembangan kepribadian, setara
dengan apa yang telah dilakukan piaget tentang perkembangan intelektual.
Erikson juga dikagumi karena observasinya yang tajam dan inteprestasinya yang
peka dan perasaan kasihnya dalam terhadap segala sesuatu yang bersifat
manusiawi.
Erikson berkata bahwa orang-orang
harus menemukan identitasnya dalam potensi-potensi masyarakatny, sedangkan
perkembangannya harus selaras dengan syarat-syarat yang dicanangkan masyarakat,
atau mereka harus menanggung akibat-akibatnya.
Sumbangan penting yang telah
diberikan Erikson meliputi dua topik utama yaitu teori psikososial tentang
perkembangan darimana muncul suatu konsepsi yang luas tentang ego dan
penelitian psikosejarah yang menerangkan psikososialnya.[1]
B.
Konsep
Dasar Konseling Ego
Ciri baru dari konseling Ego adalah lebih menekankan
pada fungsi ego. Dalam model konseling ego dikenal satu istilah yang sangat
menonjol yaitu “ Ego Strength” yang artinya kekuatan ego. Pada dasrnya kegiatan
konseling adalah usaha memperkuat “Ego Strength”. Dengan demikian orang yang
bermasalah adalah orang yang memiliki ego lemah. Misalnya orang penakut, rendah
diri, tidak bisa mengambil keputusan termasuk orang yang memiliki ego yang
lemah. Dikatakan demikian adalah karena orang yang keadaannya seperti tidak
dapat memfungsikan egonya secara penuh, baik untuk menggerakkan dirinya dalam
memenuhi kebutuhan-kebutuhannya maupun untuk meraih keinginan-keinginannya.
Perbedaan antar ego menurut Sigmund Freud dengan ego
menurut Psikoanalisis baru adalah menurut Freud, ego itu tumbuh dari Id atau
merupakan kelanjutan dari pda Id sedangkan menurut psikoanalisis baru, ego itu
tidak terikat pada Id, jadi tumbuh sendiri yang merupakan keseluruhan
kepribadian. Ego itulah yang tumbuh dan menjadi kepribadian seseorang. Jenis
baru ego ini disebutnya juga dengan ego kreatif.
Manusia tidaklah didorong oleh energy dari dalam,
tetapi manusia itu lahir ke duania untuk merespon perangsang-perangsang yang
berbeda-beda. Disini terlihat beda pendapatnya dengan Sigmund Freud yang lebih
menekankan peranan Id dalam kehidupan, sedangkan konseling ego dalam peranan
ego dalam kehidupan seseorang.
Egolah yang mengembangkan segala sesuatunya, misalnya
kemampuan individu, keadaan dirinya, penyaluran minatnya, hubungan sosialnya
dan sebagainya. Selanjutnya dikemukakan oleh Hansen, dkk (1997) bahwa,
seseorang individu haruslah mempunyai ego yang sehat dan ego yang kuat.
C.
Prinsip
Epigenetik
Erikson
terkenal karena upayanya memperbaiki dan memperluas teori tahapan yang
dicetuskan Freud. Dia mengatakan bahwa pertumbuhan berjalan berdasarkan prinsip
epigenetik. prinsip ini menyatakan bahwa kepribadian kita berkembang
melalui delapan tahap. Satu tahap ditentukan oleh keberhasilan atau
ketidakberhasilan tahap sebelumnya. Persis seperti bunga mawar, masing-masing
kembangnya mekar pada waktu dan dengan cara tertentu yang secara ilmiah telah
ditentukan secara genetik.
Setiap
tahapan memiliki tugas perkembangan sendiri-sendiri yang pada hakikatnya
bersifat psikososial. Tugas-tugas tersebut di tunjukkan oleh sepasang istilah.
Tugas anak-anak, misalnya disebut “percaya-tidak percaya”. Sepintas
kelihatannya anak-anak memang sudah seharusnya belajar percaya dan bukannya
mencurigai. Akan tetapi, Erikson menjelaskan bahwa mesti ada keseimbangan dalam
apa yang harus kita pelajari. Jelasnya, kita memang harus belajar percaya, tapi
kita pun perlu mempelajari untuk tidak percaya, walaupun sedikit, agar diwaktu
besar kita tidak menjadi orang yang lugu.
Setiap
tahap juga memiliki waktu optimal tertentu. Tidak ada gunanya “mempercepat”
kedewasaan seorang anak, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang yang
sangat terobsesi dengan kesuksesan. Begitu pula, kita tidak akan berhasil
memperlambat atau menghentikan pertumbuhan kejiwaan seseorang untuk memasuki
tahap selanjutnya. Karena setiap tahap sudah mempunyai jatah waktu
masing-masing.[2]
D.
Pandangan
tentang Hakikat Manusia
1. Tahap-tahap
perkembangan kepribadian
Menurut CalvinS Hall & Gander Lindzey (1978),
Erikson merumuskan ciri-ciri perkembangan kepribadian atas dua bagian yaitu
perkembangan kepribadian yang sehat dan perkembangan kepribadian yang gagal
pada setiap tahap. Keseluruhan tahap perkembangan kepribadian tersebut dibagi
Erikson menjadi delapan tahap, empat tahap perkembangan yang pertama sejalan
dengan pengklasifikasian, tahap perkembangan psikososial menurut Sigmeun Freud,
yaitu yang berlangsung pada masa kanak-kanak. Tahap perkembangan kelima
berlangsung pada masa remaja, sedangkan tiga tahap terakhir berlangsung pada
masa dewasa dan masa tua.
Berikut delapan tahap tersebut :
a. Masa
bayi awal (umur 0 samapai 1 tahun)
Pada tahap ini
perkembangan yang sukses ditandai dengan sikap percaya. Jika anak memperoleh
kasih sayang yang cukup dari orang tuanya dan kebutuhan terpenuhi dengan baik.
Perkembangan yang gagal jika pada masa ini anak sering ditelantarkan dan
dikasari oleh orang tuanya, maka dalam dirinya akan berkembang sikap tidak
percaya.
b. Masa
bayi akhir (1 – 3 tahun)
Perkembangan yang suskes
ditandai oleh adanya otonomi sedangkan perkembangan yang gagal ditandai oleh
adanya perasaan ragu-ragu dan malu. Pada usia ini anak perlu mendapat
kesempatan untuk melakukan kesalahan dan belajar dari kesalahannya itu. Jika
orang tua terlalu berbuat banyak untuk kepentingan anak, hal ini dapat
menghambat otonomi dan merusak kemampuan mereka untuk menghadapi dunia secara
berhasil. Sikap orang tua yang cenderung melarang, memarahi, dan menyesali
perbuatan anaknya akan menumbuhkembangkan perasaan ragu-ragu dan malu baik pada
masa sekarang maupun pada tahap perkembangan selanjutnya.
c. Masa
kanak-kanak awal (3-5 tahun)
Perkembangan yang sukses
di tandai oleh adanya inisiatif. Sedangkan perkembangan yang gagal ditandai
dengan adanya perasaan bersalah. Menurut Erikson tugas individu pada masa ini
adalah membentuk rasa memiliki kemampuan dan inisiatif. Sikap yang sebaiknya
diambil oleh orangtua dalam mendidik adalah senantiasa memberikan kesempatan
kepada anak untuk beraktualisasi diri dengan berbagai percobaan yang ingin
mereka lakukan dan jika perlu merangsang mereka untuk melakukan berbagai jenis
percobaan walau menunjukkan hasil yang minimal.
d. Masa
kanak-kanak pertengahan (6-11 tahun)
Perkembangan yang sukses
ditandai dengan “menghasilkan”, sedangkan perkembangan yang gagal ditandai
dengan rasa rendah diri. Anak yang sukses menjalani perkembangannya sudah mau
melakukan sesuatu, contohnya menyapu rumah, mengerjakan pr, dan membersihkan
sepatu sendiri. Kewajiban melakukan hal tersebut menjadi ciri sukses yang
disebut dengan mampu menghasilkan tanggung jawab. Sebaliknya anak yang kurang
beruntung mengalami rendah diri, misalnya takut kesekolah, takut bernyanyi, dan
kecenderungan merajuk. Anak-anak pada tahap ini mempunyai tugas untuk membentuk
nilai-nilai pribadi, melibatkan diri dalam kegiatan sosial, belajar menerima
dan memahami orang lain. Kegagalan pada masa ini akan membentuk rasa
ketidakmampuan sebagai seorang dewasa kelak,
dan tahap perkembangan selanjutnya akan mengarah negatif.
e. Masa
puber dan remaja (12-20 tahun)
Perkembangan yang sukses
ditandai dengan kemampuan mengenal identitas dirinya sendiri. Perkembangan yang
gagal di tandai dengan kebingungan baik dalam peran gender, bingung dengan
keadaan diri dan cita-cita dimasa depan. Menurut Erikson, krisis utama yang sering
terjadi pada masa ini adalah krisis identitas yang berpengaruh terhadap
perkembangan individu dimasa dewasa. Remaja yang gagal dalam menentukan dirinya
akan cenderung mengalami konflik peran, kehilangan tujuan dan arah hidupnya.
f.
Masa dewasa awal (21-30 tahun)
Perkembangan yang sukses
ditandai dengan adanya keintiman, sedangkan perkembangan yang gagal ditandai
oleh isolasi. Intim yang dimaksud adalah memiliki kemampuan yang baik untuk
akrab dengan orang lain dan tidak menyukai menyendiri. Perkembangan yang baik
pada masa ini ditandai dengan adanya kematangan untuk memasuki lembaga
perkawinan. Sebaliknya orang yang suka menyendiri sebenarnya ia sedang berada
dalam kekacauan perkembangan. Ketidakpercayaan terhadap orang lain serta
ketidakberanian untuk bekerja sama membuat individu tersebut mengurung diri,
mengalami kesukaran dalam membina rumah tangga yang harmonis dan kesulitan
bekerja.[3]
g. Masa
dewasa pertengahan (30-35 tahun)
Perkembangan yang sukses
ditandai oleh adanya keaktifan dalam berbagai bidang secara umum. Misalnya
secara umum dia aktif didalam pekerjaan, aktif dalam organisasi, aktif dalam
berolahraga,dll. Selanjutnya menurut Rochman Natawijaya (1987) kemampuan untuk
generavity merupakan konsep yang luas yang dimanivestasikan dalam bentuk kemampuan
untuk mengasihi secara baik, bekerja baik, dan bagaimnapun baik.
h. Masa
dewasa akhir (55 tahun keatas)
Perkembangan yang sukses ditandai
dengan keterpaduan, dan perkembangan yang gagal ditandai dengan keputusasaan.
Sukses yang terpadu maksudnya apa yang dilakukannya sudah dapat dimaknainya
dengan baik, misalnya jika sudah memiliki cucu, dia akan sayang pada cucu dan
menantunya. Sebaliknya yang gagal cenderung membenci menantu dan cucu serta
banyak penyesalan.[4]
E.
Perkembangan
kepribadian manusia
Erikson
telah membagi proses perkembangan kepribadian atas empat tahapan yaitu :
1) Ego
berkembang atas kekuatan dirinya sendiri.
2) Pertumbuhan
ego yang normal adalah dengan berkembangnya keterampilan anak dalam
berkomunikasi. Karena melalui komunikasi individu dapat mengukur dan menilai
tingkah lakunya berdasarkan reaksi dari orang lain.
3) Perkembangan
bahasa juga menambah keterampilan individu untuk membedakan suatu objek dalam
lingkungan dengan bahasa individu mampu berkomunikasi dengan orang lain.
4) Kepribadian
individu berkembang terus menerus melalui proses hubungan dirinya dengan dunia
luar atau lingkungannya (adanya keterkaitan antara hubungan yang satu dengan
yang lain).[5]
Dalam
berkomunikasi dengan lingkungannya ada empat aspek yang perlu diperhatikan :
1) Individu
belajar membedakan suatu objek dengan objek yang lainnya.
2) Individu
harus bisa melibatkan diri dengan lingkungan yang spesial yang makin lama makin
meluas dan makin mendalam.
3) Proses
sosialisasi, maksudnya adalah berhubungan dengan orang lain, dengan adanya hubungan
dengan orang lain individu dapat menyelesaikan diri dengan keadaan yang
diharapkan oleh lingkungan sosialnya.
4) Perkembangan
kepribadian yang baik apabila kepribadian itu mengarah kepada pembentukan
“coping behavior”. Coping behavior adalah kemampuan atau tingkah laku individu
yang dapat menangani suatu masalah secara tepat dn hasilnya baik.
Agar
coping behavior berdaya guna, harus memiliki dua ciri sebagi berikut :
1) Coping
behavior merupakan pola-pola tingkah laku yang tertata dengan baik melalui
beberapa tahapan yang benar, terstruktur dan bermakna. Contohnya apabila
seoarang mahasiswa membutuhkan sebuah buku dan hanya satu di perpustakaan, dia meminjam untuk di foto
copy terlebih dahulu atau mencatat hal yang penting dari buku tersebut.
2) Tingkah
laku yang mengandung coping behavior dilakukan secara sadar dan implusif.
Coping behavior merupakan konsep yang pokok dalam konsep dan salah satu tujuan
dari konseling ego adalah pembentukan coping behavior pada diri klien.[6]
F.
Fungsi
Ego
Fungsi
ego dalam diri individu dibagi menjadi tiga bagian, yaitu :
1) Fungsi
dorongan ekonomis : fungsi ego ini menyalurkan dengan cara mewujudkan dalam
bentuk tingkah laku secara baik yaitu yang baik dan dapat diterima di
lingkungan, berguna dan menguntungkan baik bagi diri individu sendiri maupun
orang lain di lingkungannya.
2) Fungsi
kognitif : berfungsinya ego pada diri individu untuk menerima rangsangan dari
luar kemudian menyimpannya dan setelah itu dapat mempergunakannya untuk
keperluan coping behavior. Dalam hal ini individu mempergunakan kemampuan
kognitifnya dengan disertai oleh pertimbangan-pertimbangan akal dan nalar.
3) Fungsi
pengawasan : disebut juga dengan fungsi kontro, maksudnya tingkah laku yang
dimunculkan individu merupakan tingkah laku yang berpola dan sesuai dengan aturan.
Secara khusus fungsi ego ini mengontrol perasaan dan emosi terhadap tingkah
laku yang dimunculkan.
G.
Perkemabangan
tingkah laku salah suai
Kajian
tentang muncul dan berkembangnya tingkah laku salah suai adalah menjadi sangat
penting diketahui oleh konselor dalam memberikan pelayanan konseling. Hal ini
terutama akan dijadikan pedoman dan titik tolak bagi penemuan jalan pemecahan
masalah klien. Erikson merumuskan munculnya tingkah laku
salah usai pada diri seseorang disebabkan oleh tiga faktor, yaitu :
1) Individu
dahulunya kehilangan kemampuan atau tidak diperkenankan merespon rangsangan
dari luar secara tepat sehingga pada saat sekarang menjadi salah suai dalam
bertingkah. Contohnya : seseorang yang tidak boleh bergaul dengan jenis kelamin
yang berbeda, dimana seseorang tersebut amat terikat dengan nial-nilai yang
kaku (agama, adat atau kepercayaan lainnya) sedangkan pada dirinya selalu
muncul dorongan atau naluri yang mana sangat dilarang oleh lingkungannya.
Sehingga apabila individu itu pindah pada lingkungan yang agak longgar terhadap
nilai-nilai, maka akan menimbulkan masalah pada diri individu itu setiap kali
dia dihadapkan pada situasi yang sama.
2) Apabila
pola-pola coping behavior yang sudah terbina pada dirinya sekarang tidak sesuai
lagi dengan situasi setempat dimana dia berada. Contohnya : coping behavior
yang digunakan ditempat asalnya, digunakan juga pada lingkungan baru, maka oleh
masyarakat akan dianggap ganjil, sehingga setiap kali dia berlaku begitu maka
akan menjadi pusat perhatian orang lain. Akhirnya individu itu menjadi salah
tingkah yang tentu saja berpengaruh pada penyesuaian dirinya.
3) Fungsi
ego tidak berjalan dengan baik, saat bertingkah laku, salah satu fungsi ego
atau ketiga-tiganya tidak berfungsi dengan baik. Contohnya : individu tersebut
tidak mempertimbangkan untung ruginya dalam bertingkah laku, kurang
memanfaatkan pikiran atau kurang mengontrol perasaan, sehingga menjadi sorotan
dari lingkungan dan tentu saja menimbulkan ketidaknyamanan bagi individu.[7]
H.
Tujuan
konseling Ego
Tujuan
konseling menurut Erikson adalah memfungsikan ego kalian secara penuh. Tujuan
lainnya adalah melakukan perubahan-perubahan pada diri klien sehingga terbentuk
coping behavior yang dikehendaki dan dapat terbina agar ego klien itu menjadi
lebih kuat. Ego yang baik adalah ego yang kuat, yaitu yang dapat menyesuaikan
diri dengan lingkungan dengan dimana dia berada.
I.
Proses
/ teknik-teknik konseling ego
Beberapa aturan dalam
konseling ego yaitu :
1) Proses
konseling harus bertitik tolak dari proses kesadarankarena dalam suasana sadar
itulah fungsi kognitif dapat dilakukan, dalam keadaan sadar, fungsi kognitif
ego itu tidak dapat jalan sebagaimana yang diharapkan.
2) Proses
konseling hendaklah bertitik tolak dari asas kekinian atau tingkah laku
sekarang dan tidak membahas nostalgia masa lampau.
3) Proses
konseling lebih ditekankan pada pembahasan secara rasional, aspek kognitif dan
dimensi kognitif yang ada hubungannya dengan bagaimana individu berfikir
tentang dasar-dasar tingkah lakunya.
4) Konselor
hendaklah menciptakan suasana hangat dan spontan, baik dalam penerimaan klien
maupun dalam proses konseling.
5) Konseling
harus dilakukan secara profesional dan dilakukan oleh konselor-konselor yang
sudah terlatih.
6) Proses
konseling hendaklah tidak berusaha mengorganisir keseluruhan kepribadian
individu, tetapi hanya pada pola tingkah laku yang salah suai.
Adapun
teknik-teknik dalam konseling ego adalah :
1) Pertama-tama
konselor perlu membina hubungan yang akrab dengan kliennya, sehingga dapat
muncul kepercayaan pada diri klien terhadap konselornya.
2) Usaha
yang dilakukan konselor harus dipusatkan pada masalah yang dikeluhkan oleh
klien, khususnya pada masalah yang ternyata didalamnya tampak kekuatan egonya
melemah.
3) Pembahasan
itu dipusatkan pada aspek kognitif dan aspek lain yang terkait dengannya.
4) Mengembangkan
situasi “ambiguitas” (keadaan bebas dan boleh kemana saja dan tidak dibatasi,
tidak dihalangi,tidak dihambat-hambat).
5) Konselor
memberi kesempatan kepada klien untuk memunculkan perasaan yang ada dalam
dirinya.
6) Klien
diperkenankan mengemukakan kondisi diri yang mungkin berbeda dengan orang lain.
7) Konselor
menyediakan fasilitas yang memungkinkan terjadinya transference melalui
proyeksi. Transference maksudnya disini adalah tembus pandang dalam arti yang
bisa dilihat orang. Pribadi yang transference adalah pribadi yang mengizinkan
orang lain melihat pribadinya sedangkan proyeksi adalah mengemukakan sesuatu
ada pada diri sendiri.
8) Pada
saat klien transference, konselor hendaknya melakukan kontra transference.[8]
Konselor
hendaknya melakukan diagnosis dengan dimensi-dimensinya, yaitu:
1) Perincian
dari masalah yang sedang dialami klien saat diselenggarakan konseling itu.
2) Sebab-sebab
timbulnya masalah tersebut, bisa juga titik api yang menyebabkan masalah
tersebut menyebar.
3) Menetukan
letak masalah, apakah pada kebiasaan klien, cara bersikap atau cara merespon
lingkungan.
4) Kekuatan
dan kelemahan masing-masing orang yang bermasalah.
J.
Kelebihan
dan Kelemahan konseling Ego
Kelebihan :
1) Bisa
membuat individu berkembang dan kekuatan dirinya sendiri melalui ego
2) Membantu
anak dalam berkomunikasi dan dapat menilai tingkah lakunya berdasarkan reaksi
dari orang lain.
3) Membiasakan
individu berkembang terus melalui proses hubungan dirinya dengan dunia luar
4) Kembalinya
kemampuan untuk mengembangkan copying behavior dalam menghadapi masalah.
5) Konseling
ego mementingkan permasalahan pada masa balita, remaja maupun dewasa.
6) Membangun
identitas serta memperluas dan memperkuat berfungsinya sistem ego.
Kelemahan :
1) Susah
untuk mengetahui bagaimana ego yang ditimbulkan oleh klien karena individu
merasa bahwa egonya tidak kuat dan tidak harus ditemukan.
2) Konselor
tidak mampu atau susah mengetahuinya karena dalam konseling ego ini dilihat
dari reaksinya yang ditimbulkan.[9]
3) Konselor
hanya menggunakan teknik biasa.
4) Apabila
individu tertekan oleh keadaan yang menimpanya dan ego kehilangan kontrol, maka
kontrol terhadap tingkah laku beralih dari kesadaran ke ketidaksadaran,
sehingga kontrol beralih dari ego ke Id.[10]
K.
Analisis
Kasus berdasarkan konseling ego
1) Apabila
individu tertekan oleh keadaan yang menimpanya dan ego kehilangan kontrol, maka
kontrol terhadap tingkah laku beralih dari kesadaran dan ketidaksadaran /
kontrol beralih dari ego ke Id
2) Ego
yang kurang kuat dapat tumbuh, karena pada periode perkembangan individu, yaitu
sejajar dengan tahap perkembangan psikososial Erikson disebabkan oleh :



3) Individu
abnormal adalah individu yang tingkah lakunya tidak berubah dalam menghadapi
tuntutan dari sendiri ataupun lingkungan yang telah berubah.
Daftar Pustaka
Corey
Gerald, theory and pratice of counseling
and psychotherapy,(Bandung : 2005),
Boeree George , General Psychology : psokologi
kperibadian,persepsi,kognisi,emosi,& perilaku, (Yogyakarta: 2013)
Boeree
George , Personality Theories : Melacak
Kepribadian Anda Bersama Psikologi Dunia, (Yogyakarta: Prismasophie, 2013)
Hendri
Novi , model-model konseling,(perdana
publishing : medan, 2013)
Taufik,
model-model konseling, (Padang :
2009)
[1] George Boeree, Personality Theories : Melacak Kepribadian
Anda Bersama Psikologi Dunia, (Yogyakarta: Prismasophie, 2013), hlm. 71-74
[2] George Boeree, General Psychology : psokologi
kperibadian,persepsi,kognisi,emosi,& perilaku, (Yogyakarta: 2013), hlm.
383-385
[4] Novi hendri ,model-model konseling,(perdana
publishing : medan, 2013), hlm.167-180
[5] http://muhammadamirullah14.wordpress.com/2012/02/27/teori-kepribadian-erikson-2.html, pada tanggal 09
maret 2017 pukul 18.05
[6] http://konselorindonesia.blogspot.com/2013/03/31/konseling-ego-erikson-4.html, pada
tanggal 09 maret 2017 pukul 18.07
[7] http://counselingcare.blogspot.com/2012/06/konseling-ego.html, pada tanggal 09
maret 2017 pukul 21.39
[9] Taufik, model-model konseling, (Padang : 2009),
[10] http://konseling4us.wordpress.com/2012/12/13/konseling/ego, pada tanggal 11
maret 2017 pukul 10.30
Komentar
Posting Komentar