Konseling Ego


PEMBAHASAN
A.   Biografi Erik Erikson
Erik Erikson dilahirkan di Jerman tanggal 15 juni 1902. Sangat sedikit yang bisa diketahui tentang asal usulnya. Ayah kandungnya adalah seorang laki-laki berkebangsaan Denmark yang tidak dikenal namanya dan tidak mau mengakui Erik sebagai anaknya sewaktu masih dalam kandungan dan langsung meninggalkan ibunya. Ibunya, Karla Abrahamsen, adalah wanita Yahudi yang membesarkannya sampai usia tiga tahun. Dia kemudian menikah dengan Dr. Theodore Homberger. Mereka kemudian pindah ke karlsruhe di Jerman selatan.
            Setelah lulus sekolah menengah, Erik memutuskan untuk menjadi seniman. Karena tidak mengambil kuliah seni dia memilih keliling eropa mengunjungi berbagai museum dan hidup seperti gelandangan. Dia menjalani hidup secara bebas tanpa beban.
            Di usia yang ke 25, temannya Peter Blos seorang seniman yang kemudian menjadi psikoanalisis menyarankannya agar mendaftar jadi guru disekolah percobaan untuk anak-anak Amerika yang dikelola oleh Dorothy Burlingham, seorang teman Anna Freud. Di samping mengajar seni, dia juga mendapat sertifikat dari montessori Education dan Vienna Psyhoanalytic society. Bisa dikatakan, dia menjadi seorang psikoanalisis karena Anna Freud.
            Reputasi Erikson hampir seluruhnya berasal dari uraiannta tentang perkembangan psikososial sepanjang masa kehidupan, dari masa bayi sampai masa tua, terutama konsep-konsepnya tentang identitas dan krisis identitas. Pada umumnya para psikologi lebih menyukai tahap Eikson daripada tahap psikoseksual Freud. Mereka berpendapat bahwa Erikson telah memberikan sumbangan untuk perkembangan kepribadian, setara dengan apa yang telah dilakukan piaget tentang perkembangan intelektual. Erikson juga dikagumi karena observasinya yang tajam dan inteprestasinya yang peka dan perasaan kasihnya dalam terhadap segala sesuatu yang bersifat manusiawi.
            Erikson berkata bahwa orang-orang harus menemukan identitasnya dalam potensi-potensi masyarakatny, sedangkan perkembangannya harus selaras dengan syarat-syarat yang dicanangkan masyarakat, atau mereka harus menanggung akibat-akibatnya.
            Sumbangan penting yang telah diberikan Erikson meliputi dua topik utama yaitu teori psikososial tentang perkembangan darimana muncul suatu konsepsi yang luas tentang ego dan penelitian psikosejarah yang menerangkan psikososialnya.[1]

B.     Konsep Dasar Konseling Ego
Ciri baru dari konseling Ego adalah lebih menekankan pada fungsi ego. Dalam model konseling ego dikenal satu istilah yang sangat menonjol yaitu “ Ego Strength” yang artinya kekuatan ego. Pada dasrnya kegiatan konseling adalah usaha memperkuat “Ego Strength”. Dengan demikian orang yang bermasalah adalah orang yang memiliki ego lemah. Misalnya orang penakut, rendah diri, tidak bisa mengambil keputusan termasuk orang yang memiliki ego yang lemah. Dikatakan demikian adalah karena orang yang keadaannya seperti tidak dapat memfungsikan egonya secara penuh, baik untuk menggerakkan dirinya dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya maupun untuk meraih keinginan-keinginannya.
Perbedaan antar ego menurut Sigmund Freud dengan ego menurut Psikoanalisis baru adalah menurut Freud, ego itu tumbuh dari Id atau merupakan kelanjutan dari pda Id sedangkan menurut psikoanalisis baru, ego itu tidak terikat pada Id, jadi tumbuh sendiri yang merupakan keseluruhan kepribadian. Ego itulah yang tumbuh dan menjadi kepribadian seseorang. Jenis baru ego ini disebutnya juga dengan ego kreatif.
Manusia tidaklah didorong oleh energy dari dalam, tetapi manusia itu lahir ke duania untuk merespon perangsang-perangsang yang berbeda-beda. Disini terlihat beda pendapatnya dengan Sigmund Freud yang lebih menekankan peranan Id dalam kehidupan, sedangkan konseling ego dalam peranan ego dalam kehidupan seseorang.
Egolah yang mengembangkan segala sesuatunya, misalnya kemampuan individu, keadaan dirinya, penyaluran minatnya, hubungan sosialnya dan sebagainya. Selanjutnya dikemukakan oleh Hansen, dkk (1997) bahwa, seseorang individu haruslah mempunyai ego yang sehat dan ego yang kuat.



C.    Prinsip Epigenetik
Erikson terkenal karena upayanya memperbaiki dan memperluas teori tahapan yang dicetuskan Freud. Dia mengatakan bahwa pertumbuhan berjalan berdasarkan prinsip epigenetik. prinsip ini menyatakan bahwa kepribadian kita berkembang melalui delapan tahap. Satu tahap ditentukan oleh keberhasilan atau ketidakberhasilan tahap sebelumnya. Persis seperti bunga mawar, masing-masing kembangnya mekar pada waktu dan dengan cara tertentu yang secara ilmiah telah ditentukan secara genetik.
Setiap tahapan memiliki tugas perkembangan sendiri-sendiri yang pada hakikatnya bersifat psikososial. Tugas-tugas tersebut di tunjukkan oleh sepasang istilah. Tugas anak-anak, misalnya disebut “percaya-tidak percaya”. Sepintas kelihatannya anak-anak memang sudah seharusnya belajar percaya dan bukannya mencurigai. Akan tetapi, Erikson menjelaskan bahwa mesti ada keseimbangan dalam apa yang harus kita pelajari. Jelasnya, kita memang harus belajar percaya, tapi kita pun perlu mempelajari untuk tidak percaya, walaupun sedikit, agar diwaktu besar kita tidak menjadi orang yang lugu.
Setiap tahap juga memiliki waktu optimal tertentu. Tidak ada gunanya “mempercepat” kedewasaan seorang anak, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang yang sangat terobsesi dengan kesuksesan. Begitu pula, kita tidak akan berhasil memperlambat atau menghentikan pertumbuhan kejiwaan seseorang untuk memasuki tahap selanjutnya. Karena setiap tahap sudah mempunyai jatah waktu masing-masing.[2]

D.    Pandangan tentang Hakikat Manusia
1.      Tahap-tahap perkembangan kepribadian
Menurut CalvinS Hall & Gander Lindzey (1978), Erikson merumuskan ciri-ciri perkembangan kepribadian atas dua bagian yaitu perkembangan kepribadian yang sehat dan perkembangan kepribadian yang gagal pada setiap tahap. Keseluruhan tahap perkembangan kepribadian tersebut dibagi Erikson menjadi delapan tahap, empat tahap perkembangan yang pertama sejalan dengan pengklasifikasian, tahap perkembangan psikososial menurut Sigmeun Freud, yaitu yang berlangsung pada masa kanak-kanak. Tahap perkembangan kelima berlangsung pada masa remaja, sedangkan tiga tahap terakhir berlangsung pada masa dewasa dan masa tua.
            Berikut delapan tahap tersebut :
a.       Masa bayi awal (umur 0 samapai 1 tahun)
Pada tahap ini perkembangan yang sukses ditandai dengan sikap percaya. Jika anak memperoleh kasih sayang yang cukup dari orang tuanya dan kebutuhan terpenuhi dengan baik. Perkembangan yang gagal jika pada masa ini anak sering ditelantarkan dan dikasari oleh orang tuanya, maka dalam dirinya akan berkembang sikap tidak percaya.
b.      Masa bayi akhir (1 – 3 tahun)
Perkembangan yang suskes ditandai oleh adanya otonomi sedangkan perkembangan yang gagal ditandai oleh adanya perasaan ragu-ragu dan malu. Pada usia ini anak perlu mendapat kesempatan untuk melakukan kesalahan dan belajar dari kesalahannya itu. Jika orang tua terlalu berbuat banyak untuk kepentingan anak, hal ini dapat menghambat otonomi dan merusak kemampuan mereka untuk menghadapi dunia secara berhasil. Sikap orang tua yang cenderung melarang, memarahi, dan menyesali perbuatan anaknya akan menumbuhkembangkan perasaan ragu-ragu dan malu baik pada masa sekarang maupun pada tahap perkembangan selanjutnya.
c.       Masa kanak-kanak awal (3-5 tahun)
Perkembangan yang sukses di tandai oleh adanya inisiatif. Sedangkan perkembangan yang gagal ditandai dengan adanya perasaan bersalah. Menurut Erikson tugas individu pada masa ini adalah membentuk rasa memiliki kemampuan dan inisiatif. Sikap yang sebaiknya diambil oleh orangtua dalam mendidik adalah senantiasa memberikan kesempatan kepada anak untuk beraktualisasi diri dengan berbagai percobaan yang ingin mereka lakukan dan jika perlu merangsang mereka untuk melakukan berbagai jenis percobaan walau menunjukkan hasil yang minimal.
d.      Masa kanak-kanak pertengahan (6-11 tahun)
Perkembangan yang sukses ditandai dengan “menghasilkan”, sedangkan perkembangan yang gagal ditandai dengan rasa rendah diri. Anak yang sukses menjalani perkembangannya sudah mau melakukan sesuatu, contohnya menyapu rumah, mengerjakan pr, dan membersihkan sepatu sendiri. Kewajiban melakukan hal tersebut menjadi ciri sukses yang disebut dengan mampu menghasilkan tanggung jawab. Sebaliknya anak yang kurang beruntung mengalami rendah diri, misalnya takut kesekolah, takut bernyanyi, dan kecenderungan merajuk. Anak-anak pada tahap ini mempunyai tugas untuk membentuk nilai-nilai pribadi, melibatkan diri dalam kegiatan sosial, belajar menerima dan memahami orang lain. Kegagalan pada masa ini akan membentuk rasa ketidakmampuan sebagai seorang dewasa kelak,  dan tahap perkembangan selanjutnya akan mengarah negatif.
e.       Masa puber dan remaja (12-20 tahun)
Perkembangan yang sukses ditandai dengan kemampuan mengenal identitas dirinya sendiri. Perkembangan yang gagal di tandai dengan kebingungan baik dalam peran gender, bingung dengan keadaan diri dan cita-cita dimasa depan. Menurut Erikson, krisis utama yang sering terjadi pada masa ini adalah krisis identitas yang berpengaruh terhadap perkembangan individu dimasa dewasa. Remaja yang gagal dalam menentukan dirinya akan cenderung mengalami konflik peran, kehilangan tujuan dan arah hidupnya.
f.        Masa dewasa awal (21-30 tahun)
Perkembangan yang sukses ditandai dengan adanya keintiman, sedangkan perkembangan yang gagal ditandai oleh isolasi. Intim yang dimaksud adalah memiliki kemampuan yang baik untuk akrab dengan orang lain dan tidak menyukai menyendiri. Perkembangan yang baik pada masa ini ditandai dengan adanya kematangan untuk memasuki lembaga perkawinan. Sebaliknya orang yang suka menyendiri sebenarnya ia sedang berada dalam kekacauan perkembangan. Ketidakpercayaan terhadap orang lain serta ketidakberanian untuk bekerja sama membuat individu tersebut mengurung diri, mengalami kesukaran dalam membina rumah tangga yang harmonis dan kesulitan bekerja.[3]
g.      Masa dewasa pertengahan (30-35 tahun)
Perkembangan yang sukses ditandai oleh adanya keaktifan dalam berbagai bidang secara umum. Misalnya secara umum dia aktif didalam pekerjaan, aktif dalam organisasi, aktif dalam berolahraga,dll. Selanjutnya menurut Rochman Natawijaya (1987) kemampuan untuk generavity merupakan konsep yang luas yang dimanivestasikan dalam bentuk kemampuan untuk mengasihi secara baik, bekerja baik, dan bagaimnapun baik.
h.      Masa dewasa akhir (55 tahun keatas)
Perkembangan yang sukses ditandai dengan keterpaduan, dan perkembangan yang gagal ditandai dengan keputusasaan. Sukses yang terpadu maksudnya apa yang dilakukannya sudah dapat dimaknainya dengan baik, misalnya jika sudah memiliki cucu, dia akan sayang pada cucu dan menantunya. Sebaliknya yang gagal cenderung membenci menantu dan cucu serta banyak penyesalan.[4]

E.     Perkembangan kepribadian manusia
Erikson telah membagi proses perkembangan kepribadian atas empat tahapan yaitu :
1)      Ego berkembang atas kekuatan dirinya sendiri.
2)      Pertumbuhan ego yang normal adalah dengan berkembangnya keterampilan anak dalam berkomunikasi. Karena melalui komunikasi individu dapat mengukur dan menilai tingkah lakunya berdasarkan reaksi dari orang lain.
3)      Perkembangan bahasa juga menambah keterampilan individu untuk membedakan suatu objek dalam lingkungan dengan bahasa individu mampu berkomunikasi dengan orang lain.
4)      Kepribadian individu berkembang terus menerus melalui proses hubungan dirinya dengan dunia luar atau lingkungannya (adanya keterkaitan antara hubungan yang satu dengan yang lain).[5]
Dalam berkomunikasi dengan lingkungannya ada empat aspek yang perlu diperhatikan :
1)      Individu belajar membedakan suatu objek dengan objek yang lainnya.
2)      Individu harus bisa melibatkan diri dengan lingkungan yang spesial yang makin lama makin meluas dan makin mendalam.
3)      Proses sosialisasi, maksudnya adalah berhubungan dengan orang lain, dengan adanya hubungan dengan orang lain individu dapat menyelesaikan diri dengan keadaan yang diharapkan oleh lingkungan sosialnya.
4)      Perkembangan kepribadian yang baik apabila kepribadian itu mengarah kepada pembentukan “coping behavior”. Coping behavior adalah kemampuan atau tingkah laku individu yang dapat menangani suatu masalah secara tepat dn hasilnya baik.
Agar coping behavior berdaya guna, harus memiliki dua ciri sebagi berikut :
1)      Coping behavior merupakan pola-pola tingkah laku yang tertata dengan baik melalui beberapa tahapan yang benar, terstruktur dan bermakna. Contohnya apabila seoarang mahasiswa membutuhkan sebuah buku dan hanya satu  di perpustakaan, dia meminjam untuk di foto copy terlebih dahulu atau mencatat hal yang penting dari buku tersebut.
2)      Tingkah laku yang mengandung coping behavior dilakukan secara sadar dan implusif. Coping behavior merupakan konsep yang pokok dalam konsep dan salah satu tujuan dari konseling ego adalah pembentukan coping behavior pada diri klien.[6]

F.     Fungsi Ego
Fungsi ego dalam diri individu dibagi menjadi tiga bagian, yaitu :
1)      Fungsi dorongan ekonomis : fungsi ego ini menyalurkan dengan cara mewujudkan dalam bentuk tingkah laku secara baik yaitu yang baik dan dapat diterima di lingkungan, berguna dan menguntungkan baik bagi diri individu sendiri maupun orang lain di lingkungannya.
2)      Fungsi kognitif : berfungsinya ego pada diri individu untuk menerima rangsangan dari luar kemudian menyimpannya dan setelah itu dapat mempergunakannya untuk keperluan coping behavior. Dalam hal ini individu mempergunakan kemampuan kognitifnya dengan disertai oleh pertimbangan-pertimbangan akal dan nalar.
3)      Fungsi pengawasan : disebut juga dengan fungsi kontro, maksudnya tingkah laku yang dimunculkan individu merupakan tingkah laku yang berpola dan sesuai dengan aturan. Secara khusus fungsi ego ini mengontrol perasaan dan emosi terhadap tingkah laku yang dimunculkan.
G.    Perkemabangan tingkah laku salah suai
Kajian tentang muncul dan berkembangnya tingkah laku salah suai adalah menjadi sangat penting diketahui oleh konselor dalam memberikan pelayanan konseling. Hal ini terutama akan dijadikan pedoman dan titik tolak bagi penemuan jalan pemecahan masalah klien. Erikson merumuskan munculnya tingkah laku salah usai pada diri seseorang disebabkan oleh tiga faktor, yaitu :
1)      Individu dahulunya kehilangan kemampuan atau tidak diperkenankan merespon rangsangan dari luar secara tepat sehingga pada saat sekarang menjadi salah suai dalam bertingkah. Contohnya : seseorang yang tidak boleh bergaul dengan jenis kelamin yang berbeda, dimana seseorang tersebut amat terikat dengan nial-nilai yang kaku (agama, adat atau kepercayaan lainnya) sedangkan pada dirinya selalu muncul dorongan atau naluri yang mana sangat dilarang oleh lingkungannya. Sehingga apabila individu itu pindah pada lingkungan yang agak longgar terhadap nilai-nilai, maka akan menimbulkan masalah pada diri individu itu setiap kali dia dihadapkan pada situasi yang sama.
2)      Apabila pola-pola coping behavior yang sudah terbina pada dirinya sekarang tidak sesuai lagi dengan situasi setempat dimana dia berada. Contohnya : coping behavior yang digunakan ditempat asalnya, digunakan juga pada lingkungan baru, maka oleh masyarakat akan dianggap ganjil, sehingga setiap kali dia berlaku begitu maka akan menjadi pusat perhatian orang lain. Akhirnya individu itu menjadi salah tingkah yang tentu saja berpengaruh pada penyesuaian dirinya.
3)      Fungsi ego tidak berjalan dengan baik, saat bertingkah laku, salah satu fungsi ego atau ketiga-tiganya tidak berfungsi dengan baik. Contohnya : individu tersebut tidak mempertimbangkan untung ruginya dalam bertingkah laku, kurang memanfaatkan pikiran atau kurang mengontrol perasaan, sehingga menjadi sorotan dari lingkungan dan tentu saja menimbulkan ketidaknyamanan bagi individu.[7]



H.    Tujuan konseling Ego
Tujuan konseling menurut Erikson adalah memfungsikan ego kalian secara penuh. Tujuan lainnya adalah melakukan perubahan-perubahan pada diri klien sehingga terbentuk coping behavior yang dikehendaki dan dapat terbina agar ego klien itu menjadi lebih kuat. Ego yang baik adalah ego yang kuat, yaitu yang dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan dimana dia berada.

I.       Proses / teknik-teknik konseling ego
Beberapa aturan dalam konseling ego yaitu :
1)      Proses konseling harus bertitik tolak dari proses kesadarankarena dalam suasana sadar itulah fungsi kognitif dapat dilakukan, dalam keadaan sadar, fungsi kognitif ego itu tidak dapat jalan sebagaimana yang diharapkan.
2)      Proses konseling hendaklah bertitik tolak dari asas kekinian atau tingkah laku sekarang dan tidak membahas nostalgia masa lampau.
3)      Proses konseling lebih ditekankan pada pembahasan secara rasional, aspek kognitif dan dimensi kognitif yang ada hubungannya dengan bagaimana individu berfikir tentang dasar-dasar tingkah lakunya.
4)      Konselor hendaklah menciptakan suasana hangat dan spontan, baik dalam penerimaan klien maupun dalam proses konseling.
5)      Konseling harus dilakukan secara profesional dan dilakukan oleh konselor-konselor yang sudah terlatih.
6)      Proses konseling hendaklah tidak berusaha mengorganisir keseluruhan kepribadian individu, tetapi hanya pada pola tingkah laku yang salah suai.
Adapun teknik-teknik dalam konseling ego adalah :
1)      Pertama-tama konselor perlu membina hubungan yang akrab dengan kliennya, sehingga dapat muncul kepercayaan pada diri klien terhadap konselornya.
2)      Usaha yang dilakukan konselor harus dipusatkan pada masalah yang dikeluhkan oleh klien, khususnya pada masalah yang ternyata didalamnya tampak kekuatan egonya melemah.
3)      Pembahasan itu dipusatkan pada aspek kognitif dan aspek lain yang terkait dengannya.
4)      Mengembangkan situasi “ambiguitas” (keadaan bebas dan boleh kemana saja dan tidak dibatasi, tidak dihalangi,tidak dihambat-hambat).
5)      Konselor memberi kesempatan kepada klien untuk memunculkan perasaan yang ada dalam dirinya.
6)      Klien diperkenankan mengemukakan kondisi diri yang mungkin berbeda dengan orang lain.
7)      Konselor menyediakan fasilitas yang memungkinkan terjadinya transference melalui proyeksi. Transference maksudnya disini adalah tembus pandang dalam arti yang bisa dilihat orang. Pribadi yang transference adalah pribadi yang mengizinkan orang lain melihat pribadinya sedangkan proyeksi adalah mengemukakan sesuatu ada pada diri sendiri.
8)      Pada saat klien transference, konselor hendaknya melakukan kontra transference.[8]
Konselor hendaknya melakukan diagnosis dengan dimensi-dimensinya, yaitu:
1)      Perincian dari masalah yang sedang dialami klien saat diselenggarakan konseling itu.
2)      Sebab-sebab timbulnya masalah tersebut, bisa juga titik api yang menyebabkan masalah tersebut menyebar.
3)      Menetukan letak masalah, apakah pada kebiasaan klien, cara bersikap atau cara merespon lingkungan.
4)      Kekuatan dan kelemahan masing-masing orang yang bermasalah.

J.      Kelebihan dan Kelemahan konseling Ego
Kelebihan :
1)      Bisa membuat individu berkembang dan kekuatan dirinya sendiri melalui ego
2)      Membantu anak dalam berkomunikasi dan dapat menilai tingkah lakunya berdasarkan reaksi dari orang lain.
3)      Membiasakan individu berkembang terus melalui proses hubungan dirinya dengan dunia luar
4)      Kembalinya kemampuan untuk mengembangkan copying behavior dalam menghadapi masalah.
5)      Konseling ego mementingkan permasalahan pada masa balita, remaja maupun dewasa.
6)      Membangun identitas serta memperluas dan memperkuat berfungsinya sistem ego.

Kelemahan :
1)      Susah untuk mengetahui bagaimana ego yang ditimbulkan oleh klien karena individu merasa bahwa egonya tidak kuat dan tidak harus ditemukan.
2)      Konselor tidak mampu atau susah mengetahuinya karena dalam konseling ego ini dilihat dari reaksinya yang ditimbulkan.[9]
3)      Konselor hanya menggunakan teknik biasa.
4)      Apabila individu tertekan oleh keadaan yang menimpanya dan ego kehilangan kontrol, maka kontrol terhadap tingkah laku beralih dari kesadaran ke ketidaksadaran, sehingga kontrol beralih dari ego ke Id.[10]

K.    Analisis Kasus berdasarkan konseling ego
1)      Apabila individu tertekan oleh keadaan yang menimpanya dan ego kehilangan kontrol, maka kontrol terhadap tingkah laku beralih dari kesadaran dan ketidaksadaran / kontrol beralih dari ego ke Id
2)      Ego yang kurang kuat dapat tumbuh, karena pada periode perkembangan individu, yaitu sejajar dengan tahap perkembangan psikososial Erikson disebabkan oleh :
*      Individu kurang mampu merespon dengan cara yang layak
*      Pola tingkah yang dimiliki tidak lagi cocok dengan tuntutan lingkungan (situasi)
*      Rusaknya fungsi ego
3)      Individu abnormal adalah individu yang tingkah lakunya tidak berubah dalam menghadapi tuntutan dari sendiri ataupun lingkungan yang telah berubah.

Daftar Pustaka
Corey Gerald, theory and pratice of counseling and psychotherapy,(Bandung : 2005),
 Boeree George , General Psychology : psokologi kperibadian,persepsi,kognisi,emosi,& perilaku, (Yogyakarta: 2013)

Boeree George , Personality Theories : Melacak Kepribadian Anda Bersama Psikologi Dunia, (Yogyakarta: Prismasophie, 2013)
Hendri Novi , model-model konseling,(perdana publishing : medan, 2013)

Taufik, model-model konseling, (Padang : 2009)
















[1] George Boeree, Personality Theories : Melacak Kepribadian Anda Bersama Psikologi Dunia, (Yogyakarta: Prismasophie, 2013), hlm. 71-74
[2] George Boeree, General Psychology : psokologi kperibadian,persepsi,kognisi,emosi,& perilaku, (Yogyakarta: 2013), hlm. 383-385

[3]  Ibid., hlm. 385-397
[4] Novi hendri ,model-model konseling,(perdana publishing : medan, 2013), hlm.167-180
[8]  Gerald Corey, theory and pratice of counseling and psychotherapy,(Bandung : 2005),  
[9] Taufik, model-model konseling, (Padang : 2009),
[10] http://konseling4us.wordpress.com/2012/12/13/konseling/ego, pada tanggal 11 maret 2017 pukul 10.30

Komentar